A. Pengertian
Secara bahasa zakat berarti tumbuh (numuww)
dan bertambah (ziyadah). Jika diucapkan zaka al-zar, artinya adalah tanaman itu
tumbuh dan bertambah. Jika diucapkan zakat al-nafaqah artinya nafkah tumbuh dan
bertambah jika diberkati . Kata ini juga sering ditemukan untuk makna thararah
(suci)[1].
Allah Swt berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
“sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa
itu,” (Qs.Asy-Syam : 09)
Maksud kata zaka dalam ayat ini adalah menyucikan dari
kotoran. Arti yang sama (suci) juga terlihat dalam ayat berikut :
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى
“sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan diri
itu,” (Qs. Al-A’laa : 14)
Kata zakat adakalanya bermakna pujian, misalnya dalam
firman Allah Swt. Berikut ini :
الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الإثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلا
اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ
أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ
فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji
yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas
ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia
menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka
janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang
orang yang bertakwa.”(Qs.An-Najm : 32)
Adapun pengertian zakat menurut
syara’ berarti hak yang wajib
(dikeluarkan dari) harta. Mazhab Maliki mendefinisikannya dengan, “
mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah
mencapai nishab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat) kepada orang-orang yang
berhak menerimanya (mustahiqq)-nya. Mazhab Hanafi mendefiniskan zakat dengan,
“Menjadikan sebagian harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik
orang yang khusus, yang ditentukan oleh syariat karena Allah Swt”. Adapun
menurut mazhab Syafi’i,” zakat adalah sebuah ungkapan untuk keluarnya harta
atau tumbuh sesuai dengan cara khusus. Sedangkan menurut Hanbali, zakat ialah
hak yang wajib (dikeluarkan) dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus
pula.[2]
Yang dimaksud dalam kelompok khusus disini adalah orang-orang yang berhak
menerma zakat.
Zakat secara umum dibagi menjadi dua macam yaitu zakat
fitrah dan zakat maal. Zakat Fitrah ialah zakat diri yang diwajibkan atas diri
setiap individu lelaki dan perempuan muslim yang berkemampuan dengan
syarat-syarat yang ditetapkan. Kata Fitrah yang ada merujuk pada keadaan
manusia saat baru diciptakan sehingga dengan mengeluarkan zakat ini manusia
dengan izin Allah akan kembali fitrah. Sedangkan Zakat Mal adalah zakat yang
dikenakan atas harta yang dimiliki oleh individu dengan syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan secara syarak.
B. Makna Zakat Fitrah
M Makna
zakat fitrah, yaitu zakat yang sebab diwajibkannya adalah futur (berbuka puasa)
pada bulan Ramadhan. Disebut pula dengan sedekah fitrah. Kita telah menjelaskan
bahwa lafaz (sedekah) menurut syara’, dipergunakan untuk zakat yang diwajibkan
; sebagaiman terdapat pada berbagai tempat dalan Al-Qur’an dan Sunnah.
Dipergunakan pula sedekah itu untuk zakat fitrah, seolah-olah sedekah dari
fitrah atau asal kejadian, sehingga wajibnya zakat fitrah untuk menyucikan diri
dan membersihkan perbuatannya. [3]
Zakat fitrah diwajibkan pada kedua tahun hijrah, yaitu tahun diwajibkannya
puasa bulan ramadhan untuk mensucikan orang yang berpuasa dari ucapan kotor dan
perbuatan yang tidak ada gunanya, untuk memberi makanan pada orang-orang miskin
dan mencukupkan mereka dari kebutuhan dan meminta-minta pada hari raya.
Dalam suatu hadist, diriwayatkan dari Ibnu
Abbas r.a bahwa Muadz r.a mengatakan : Aku diutus oleh Rasulullah SAW, lalu
beliau mengatakan,”Kamu akan mendatangi orang-orang ahli kitab, ajaklah mereka
bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika
mereka taat pada ajakan itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah
mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam. Jika mereka
mematuhi itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada
mereka zakat yang dipungut dari mereka yang kaya, lalu dikembalikan kepada
mereka yang fakir. Jika mereka mematuhi itu, maka berhati-hatilah
kamu/lindungilah harta mereka yang bernilai, dan takutlah terhadap doa orang
yang terdzalimi, karena tidak ada penghalang antara doanya dengan Allah Azza wa
Jalla. (HR. Muslim, nomor hadist 501)[4].
Dari hadist diatas dapat kita zakat
merupakan suatu hal yang wajib untuk dilaksankan baik berupa zakat mal maupun
zakat fitrah. Diwajibkannya zakat kepada ummat muslim memiliki banyak hikmah
tersendiri seperti yang dijelaskan dalam buku Zakat dalam Perekonomian Modern
karangan Prof. Dr. K.H Didin Hafidhuddin yakni pertama, sebagai perwujudan
keimanan kepada Allah Swt, mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan akhlak mulia
dengan rasa kemanusian yang tinggi, menghilangkan sifat kikir, rakus dan
materialis, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus membersihkan dan
mengembangkan harta yang dimiliki. Kedua, karena zakat merupakan hak mustahik, maka
zakat berfungsi untuk menolong, mambantu dan membina mereka terutama fakir
miskin, kea rah kehidupan yang lebih baik
dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
dengan layak.[5]
Dan masih banyak lagi manfaat dan hikmah yang terkandung dalam zakat.
C. Waktu Pembayaran Zakat Fitrah
Zakat Fitrah wajib dibayar sebelum
pelaksanaan shalat id, sebagaimana dalam suatu hadist, diriwayatkan dari
Abdullah Ibnu Umar r.a, bahwasanya Rasulullah SAW, telah memerintahkan
pembayaran zakat fitrah sebelum orang-orang keluar shalat hari raya. (HR. Muslim,
nomor hadist 522)[6]
Para ulama berselisih pendapat, boleh
tidaknya mempercepat pembayaran zakat fithri sebelum waktu di atas. Ibnu Hazm
rahimahullah berpendapat tidak boleh mempercepat dari waktu asalnya. Adapun
jumhur ulama memperbolehkannya, dan inilah yang kuat.
Jumhur ulama kemudian berselisih pendapat
berapa kadar mempercepat pembayaran zakat fithri tersebut.
1. Madzhab Hanabilah.
Jumhur ulama madzhab Hanabilah berpendapat tidak boleh
mempercepat lebih dari 2 hari (sebelum ‘Ied). Sebagian Hanaabilah membolehkan
mempercepat setelah pertengahan Ramadlaan, sebagaimana dibolehkan mempercepat
adzan Fajr dan berangkat dari Muzdalifah (menuju Mina) setelah pertengahan
malam.
2. Madzhab Maalikiyyah.
Ada dua pendapat yang beredar dalam kebolehan
mempercepat sehari hingga tiga hari (ada yang membolehkan, ada pula yang
tidak).
3. Madzhab Asy-Syaafi’iyyah.
Jumhur membolehkan mempercepat mulai dari awal bulan
Ramadlaan. Pendapat lain ada yang merincinya, yaitu boleh mempercepatnya mulai
terbitnya fajar hari pertama bulan Ramadlaan hingga akhir bulan, namun tidak
boleh membayarnya di waktu malam pertama hari pertama bulan Ramadlaan – karena
waktu itu belum disyari’atkan untuk berpuasa. Pendapat lain, boleh mempercepat
dalam seluruh waktu pada tahun tersebut (sepanjang tahun).
4. Madzhab Al-Hanafiyyah.
Pendapat yang masyhur, mereka membolehkan mempercepat
pembayaran dari awal haul. Dihikayatkan dari Ath-Thahawiy dan
shahabat-shahabatnya bahwa mereka membolehkan mempercepat secara mutlak tanpa
perincian. Abul-Hasan Al-Karjiy membolehkan mempercepat sehari atau dua hari
(sebelum ‘Ied). Diriwayatkan dari Abu Haniifah bahwa ia membolehkan mempercepat
satu tahun hingga dua tahun. Diriwayatkan dari Al-Hasan bin Ziyaad bahwa ia
tidak membolehkan mempercepatnya.[7]
D. Pembayar dan Penerima Zakat Fitrah
Orang
yang berkewajiban membayar zakat fitrah adalah mereka yang memiliki harta satu
nishab, sebagaimana zakat mal. Ini adalah pendapat ulama Kufah. Orang yang
wajib membayar zakat fitrah adalah mereka yang memiliki kelebihan makanan di
luar kebutuhannya ketika hari raya, sekalipun dia tidak memiliki kelebihan
harta lainnya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, diantaranya Az-Zuhri,
As-Sya’bi, Ibnu Sirrin, Ibnul Mubarok, Imam As-Syafii, Imam Ahmad dan yang
lainnya. Sedangkan orang yang berhak menerima zakat terbagi menjadi 8 asnaf
sebagaimana dalam firman- Nya :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ
وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ
وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ
اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah
untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.(Qs. At-Taubah : 60)
1. Fakir (al Fuqara) – adalah orang yang tiada harta pendapatan yang
mencukupi untuknya dan keperluannya. Tidak mempunyai keluarga untuk mencukupkan
nafkahnya seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal.
2. Miskin (al-Masakin) – mempunyai kemampuan usaha untuk mendapatkan
keperluan hidupnya akan tetapi tidak mencukupi sepenuhnya
3. Amil – orang yang dilantik untuk memungut dan mengagih wang zakat.
4. Muallaf – seseorang yang baru memeluk agama Islam.
5. Riqab – seseorang yang terbelenggu dan tiada kebebasan diri.
6. Gharimin – penghutang muslim yang tidak mempunyai sumber untuk
menjelaskan hutang yang diharuskan oleh syarak pada perkara asasi untuk diri
dan tanggungjawab yang wajib ke atasnya.
7. Fisabilillah – orang yang berjuang, berusaha dan melakukan aktiviti
untuk menegakkan dan meninggikan agama Allah.
8. Ibnus Sabil – musafir yang kehabisan bekalan dalam perjalanan atau
semasa memulakan perjalanan dari negaranya yang mendatangkan pulangan yang baik
kepada Islam dan umatnya atau orang Islam yang tiada perbekalan di jalanan.
Daftar Pustaka
-
Al-Mundziri, Imam,2003, Ringkasan Shahih
Muslim, Jakarta : Pustaka Amani
-
Al-Zuhayly, Wahbah, 2008, Zakat : Kajian
Berbagai Mazhab, Bandung : PT Remaja
Rosdakarya
-
Hafidhuddin, Didin, 2002, Zakat dalam Perekonomian Modern,
Jakarta : Gema
Insani
-
Qardawi,Yusuf, 2010, Hukum Zakat : Studi
Komparatif mengenai Status dan Filsafat
Zakat
Berdasarkan Qur’an dan Hadist, Jakarta : PT Pustaka Litera
AntarNusa
[1] Dr. Wahbah Al-Zuhayly, 2008, Zakat
: Kajian Berbagai Mazhab, Bandung : PT Remaja Rosdakarya
[2] Ibid, hal 84
[3] Dr. Yusuf Qardawi, 2010, Hukum
Zakat : Studi Komparatif mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an
dan Hadist, Jakarta : PT Pustaka Litera AntarNusa
[4] Imam Al-Mundziri,2003, Ringkasan
Shahih Muslim, Jakarta : Pustaka
Amani
[5] Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin,
2002, Zakat dalam Perekonomian Modern,
Jakarta : Gema Insani
[6] Op.cit hal 297
Tidak ada komentar:
Posting Komentar