Minggu, 17 Januari 2016

Zakat Fitrah

A.    Pengertian
Secara bahasa zakat berarti tumbuh (numuww) dan bertambah (ziyadah). Jika diucapkan zaka al-zar, artinya adalah tanaman itu tumbuh dan bertambah. Jika diucapkan zakat al-nafaqah artinya nafkah tumbuh dan bertambah jika diberkati . Kata ini juga sering ditemukan untuk makna thararah (suci)[1]. Allah Swt berfirman :

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
“sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu,” (Qs.Asy-Syam : 09)

Maksud kata zaka dalam ayat ini adalah menyucikan dari kotoran. Arti yang sama (suci) juga terlihat dalam ayat berikut :
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى
“sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan diri itu,” (Qs. Al-A’laa : 14)

Kata zakat adakalanya bermakna pujian, misalnya dalam firman Allah Swt. Berikut ini :
الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الإثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلا اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.(Qs.An-Najm : 32)
Adapun pengertian zakat menurut syara’  berarti hak yang wajib (dikeluarkan dari) harta. Mazhab Maliki mendefinisikannya dengan, “ mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat) kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiqq)-nya. Mazhab Hanafi mendefiniskan zakat dengan, “Menjadikan sebagian harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus, yang ditentukan oleh syariat karena Allah Swt”. Adapun menurut mazhab Syafi’i,” zakat adalah sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tumbuh sesuai dengan cara khusus. Sedangkan menurut Hanbali, zakat ialah hak yang wajib (dikeluarkan) dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula.[2] Yang dimaksud dalam kelompok khusus disini adalah orang-orang yang berhak menerma zakat.

            Zakat secara umum dibagi menjadi dua macam yaitu zakat fitrah dan zakat maal. Zakat Fitrah ialah zakat diri yang diwajibkan atas diri setiap individu lelaki dan perempuan muslim yang berkemampuan dengan syarat-syarat yang ditetapkan. Kata Fitrah yang ada merujuk pada keadaan manusia saat baru diciptakan sehingga dengan mengeluarkan zakat ini manusia dengan izin Allah akan kembali fitrah. Sedangkan Zakat Mal adalah zakat yang dikenakan atas harta yang dimiliki oleh individu dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan secara syarak.

B.     Makna Zakat Fitrah 
M   Makna zakat fitrah, yaitu zakat yang sebab diwajibkannya adalah futur (berbuka puasa) pada bulan Ramadhan. Disebut pula dengan sedekah fitrah. Kita telah menjelaskan bahwa lafaz (sedekah) menurut syara’, dipergunakan untuk zakat yang diwajibkan ; sebagaiman terdapat pada berbagai tempat dalan Al-Qur’an dan Sunnah. Dipergunakan pula sedekah itu untuk zakat fitrah, seolah-olah sedekah dari fitrah atau asal kejadian, sehingga wajibnya zakat fitrah untuk menyucikan diri dan membersihkan perbuatannya. [3] Zakat fitrah diwajibkan pada kedua tahun hijrah, yaitu tahun diwajibkannya puasa bulan ramadhan untuk mensucikan orang yang berpuasa dari ucapan kotor dan perbuatan yang tidak ada gunanya, untuk memberi makanan pada orang-orang miskin dan mencukupkan mereka dari kebutuhan dan meminta-minta pada hari raya.

Dalam suatu hadist, diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a bahwa Muadz r.a mengatakan : Aku diutus oleh Rasulullah SAW, lalu beliau mengatakan,”Kamu akan mendatangi orang-orang ahli kitab, ajaklah mereka bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka taat pada ajakan itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam. Jika mereka mematuhi itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat yang dipungut dari mereka yang kaya, lalu dikembalikan kepada mereka yang fakir. Jika mereka mematuhi itu, maka berhati-hatilah kamu/lindungilah harta mereka yang bernilai, dan takutlah terhadap doa orang yang terdzalimi, karena tidak ada penghalang antara doanya dengan Allah Azza wa Jalla. (HR. Muslim, nomor hadist 501)[4].

Dari hadist diatas dapat kita zakat merupakan suatu hal yang wajib untuk dilaksankan baik berupa zakat mal maupun zakat fitrah. Diwajibkannya zakat kepada ummat muslim memiliki banyak hikmah tersendiri seperti yang dijelaskan dalam buku Zakat dalam Perekonomian Modern karangan Prof. Dr. K.H Didin Hafidhuddin yakni pertama, sebagai perwujudan keimanan kepada Allah Swt, mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan akhlak mulia dengan rasa kemanusian yang tinggi, menghilangkan sifat kikir, rakus dan materialis, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus membersihkan dan mengembangkan harta yang dimiliki. Kedua, karena zakat merupakan hak mustahik, maka zakat berfungsi untuk menolong, mambantu dan membina mereka terutama fakir miskin, kea rah kehidupan yang lebih baik  dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak.[5] Dan masih banyak lagi manfaat dan hikmah yang terkandung dalam zakat.

C.    Waktu Pembayaran Zakat Fitrah
Zakat Fitrah wajib dibayar sebelum pelaksanaan shalat id, sebagaimana dalam suatu hadist, diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Umar r.a, bahwasanya Rasulullah SAW, telah memerintahkan pembayaran zakat fitrah sebelum orang-orang keluar shalat hari raya. (HR. Muslim, nomor hadist 522)[6]

Para ulama berselisih pendapat, boleh tidaknya mempercepat pembayaran zakat fithri sebelum waktu di atas. Ibnu Hazm rahimahullah berpendapat tidak boleh mempercepat dari waktu asalnya. Adapun jumhur ulama memperbolehkannya, dan inilah yang kuat.
Jumhur ulama kemudian berselisih pendapat berapa kadar mempercepat pembayaran zakat fithri tersebut.

1.      Madzhab Hanabilah.
Jumhur ulama madzhab Hanabilah berpendapat tidak boleh mempercepat lebih dari 2 hari (sebelum ‘Ied). Sebagian Hanaabilah membolehkan mempercepat setelah pertengahan Ramadlaan, sebagaimana dibolehkan mempercepat adzan Fajr dan berangkat dari Muzdalifah (menuju Mina) setelah pertengahan malam.

2.      Madzhab Maalikiyyah.
Ada dua pendapat yang beredar dalam kebolehan mempercepat sehari hingga tiga hari (ada yang membolehkan, ada pula yang tidak).

3.      Madzhab Asy-Syaafi’iyyah.
Jumhur membolehkan mempercepat mulai dari awal bulan Ramadlaan. Pendapat lain ada yang merincinya, yaitu boleh mempercepatnya mulai terbitnya fajar hari pertama bulan Ramadlaan hingga akhir bulan, namun tidak boleh membayarnya di waktu malam pertama hari pertama bulan Ramadlaan – karena waktu itu belum disyari’atkan untuk berpuasa. Pendapat lain, boleh mempercepat dalam seluruh waktu pada tahun tersebut (sepanjang tahun).



4.      Madzhab Al-Hanafiyyah.
Pendapat yang masyhur, mereka membolehkan mempercepat pembayaran dari awal haul. Dihikayatkan dari Ath-Thahawiy dan shahabat-shahabatnya bahwa mereka membolehkan mempercepat secara mutlak tanpa perincian. Abul-Hasan Al-Karjiy membolehkan mempercepat sehari atau dua hari (sebelum ‘Ied). Diriwayatkan dari Abu Haniifah bahwa ia membolehkan mempercepat satu tahun hingga dua tahun. Diriwayatkan dari Al-Hasan bin Ziyaad bahwa ia tidak membolehkan mempercepatnya.[7]

D.    Pembayar dan Penerima Zakat Fitrah
Orang yang berkewajiban membayar zakat fitrah adalah mereka yang memiliki harta satu nishab, sebagaimana zakat mal. Ini adalah pendapat ulama Kufah. Orang yang wajib membayar zakat fitrah adalah mereka yang memiliki kelebihan makanan di luar kebutuhannya ketika hari raya, sekalipun dia tidak memiliki kelebihan harta lainnya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, diantaranya Az-Zuhri, As-Sya’bi, Ibnu Sirrin, Ibnul Mubarok, Imam As-Syafii, Imam Ahmad dan yang lainnya. Sedangkan orang yang berhak menerima zakat terbagi menjadi 8 asnaf sebagaimana dalam firman- Nya :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(Qs. At-Taubah : 60)

1.      Fakir (al Fuqara) – adalah orang yang tiada harta pendapatan yang mencukupi untuknya dan keperluannya. Tidak mempunyai keluarga untuk mencukupkan nafkahnya seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal.
2.      Miskin (al-Masakin) – mempunyai kemampuan usaha untuk mendapatkan keperluan hidupnya akan tetapi tidak mencukupi sepenuhnya
3.      Amil – orang yang dilantik untuk memungut dan mengagih wang zakat.
4.      Muallaf – seseorang yang baru memeluk agama Islam.
5.      Riqab – seseorang yang terbelenggu dan tiada kebebasan diri.
6.      Gharimin – penghutang muslim yang tidak mempunyai sumber untuk menjelaskan hutang yang diharuskan oleh syarak pada perkara asasi untuk diri dan tanggungjawab yang wajib ke atasnya.
7.      Fisabilillah – orang yang berjuang, berusaha dan melakukan aktiviti untuk menegakkan dan meninggikan agama Allah.
8.      Ibnus Sabil – musafir yang kehabisan bekalan dalam perjalanan atau semasa memulakan perjalanan dari negaranya yang mendatangkan pulangan yang baik kepada Islam dan umatnya atau orang Islam yang tiada perbekalan di jalanan.









Daftar Pustaka
-          Al-Mundziri, Imam,2003, Ringkasan Shahih Muslim, Jakarta :  Pustaka Amani
-          Al-Zuhayly, Wahbah, 2008, Zakat : Kajian Berbagai Mazhab, Bandung : PT Remaja
                 Rosdakarya
-          Hafidhuddin, Didin, 2002,  Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta : Gema
                 Insani
-          Qardawi,Yusuf, 2010, Hukum Zakat : Studi Komparatif mengenai Status dan Filsafat
                Zakat Berdasarkan Qur’an dan Hadist, Jakarta : PT Pustaka Litera
                          AntarNusa
-          http://abul-jauzaa.blogspot.co.id















[1] Dr. Wahbah Al-Zuhayly, 2008, Zakat : Kajian Berbagai Mazhab, Bandung : PT Remaja Rosdakarya
[2] Ibid, hal 84
[3] Dr. Yusuf Qardawi, 2010, Hukum Zakat : Studi Komparatif mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an dan Hadist, Jakarta : PT Pustaka Litera AntarNusa
[4] Imam Al-Mundziri,2003, Ringkasan Shahih Muslim, Jakarta :  Pustaka Amani
[5] Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, 2002,  Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta : Gema Insani
[6] Op.cit hal 297
[7] http://abul-jauzaa.blogspot.co.id  diakses tanggal 09 januari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Teori Perdagangan

  Teori Keunggulan Absolut – Adam Smith             Keunggulan absolut (absolute advantage) merujuk pada kemampuan sebuah negara, wilayah,...