Jual beli
merupakan aktifitas yang biasa kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari baik untuk kebutuhan daruriyah, hajatiah maupun tahsiniyah. Transaksi
jual-beli selalu melibatkan pihak penjual dan pembeli, yang mana masing-masing
dari mereka dalam melakukan suatu transaksi bertujuan untuk memperoleh apa yang
mereka butuhkan atau harapkan, penjual mengharapkan keuntungan dari barang
dagangannya dan pembeli membutuhkan sesuatu untuk dinikmati kegunaannya.
Harapan
dan kebutuhan mereka berbeda-beda misalnya berkenanan dengan harga sebagian
penjual mungkin mengharapkan harga yang tinggi atas barang dagangannya
sedangkan sebagian pembeli mungkin mengharapkan harga yang rendah untuk barang yang ingin dibeli. Karena
perbedaan inilah akhirnya harga yang terjadi dalam suatu transaksi jual beli
harus mewakili kemaslahatan masing-masing pihak yaitu antara penjual dan
pembeli dan tidak memudharatkan salah satu pihak. Allah Swt pernah berfirman :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa
[4]:29 )
Berdasarkan dalil Al-Qur’an diatas maka jelas bagi kita bahwa dalam
melakukan suatu transaksi khususnya jual-beli harus dilakukan atas dasar suka
sama suka serta tidak ada kebathilan yang terjadi.
Ekonomi
islam mengenal bentuk jual-beli yang dikenal dengan istilah Murabahah. Jual-beli ini merupakan jual beli yang terjadi
berdasarkan atas kesepakatan harga antara penjual dengan pembeli. Praktik jual
beli murabahah ini sudah umum digunakan oleh perbankan islam saat ini. Pada makalah ini kami akan menguraikan lebih
lanjut tentang jual beli Murabahah dari bagaimana murabahah dalam literature
klasik, bagaimana persyaratannya hingga permasalahan-permasalahan dalam transaksi
Murabahah.
Pengertian Murabahah
Salah satu konsep fiqh muamalah yang
banyak dipraktikan oleh perbankan Syariah adalah akad jual beli murabahah. Akad ini banyak diminati
oleh perbankan Syariah dikarenakan faktor keamanan dan minimnya bagi bank
Syariah di banding akad mudlarabah dan musyarakah. Murabahah merupakan jenis
jual beli dengan ketentuan yang lebih spesifik dibanding dengan jual beli pada
umumnya. Ada beberapa karakteristik tertentu yang membedakan antara jual beli
pada umumnya dengan akad murabahah.
Pengertian murabahah secara lafdzi
berasal dari masdar ribhun (keuntungan). Murabahah adalah masdar
dari Rabaha- Yurabihu- Murabahatan (member keuntungan). Sedangkan secara
istilahi Wahbah al-Zuhaily mengutip beberapa definisi yang diberikan oleh para
imam mujtahid. Diantaranya: Ulama Hanafiyah mengatakan, murabahah adalah
memindahkan hak milik seseorang kepada orang lain sesuai dengan transaksi dan
harga awal yang dilakukan pemilik awal ditambah keinginan yang diinginkan.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat murabahah adalah jual beli yang dilakukan
seseorang dengan mendasarkan pada harga beli penjual ditambah keuntungan dengan
syarat harus sepengetahuan kedua belah pihak.
Sedangkan Wahbah al-Zuhaily sendiri
mendifinisikan murabahah adalah jual beli yang dilakukan sesorang dengan harga
awal ditambah dengan keuntungan. Penjual menyampaikan harga beli kepada pembeli
ditambah permintaan keuntungan yang dikehendaki penjual kepada pembeli. Seperti
ungkapan penjual kepada pembeli: “saya menjual barang ini kepada anda dengan
harga beli sepuluh dinar. Mohon anda memberi kami keuntungan satu dirham”.[1]
Murabahah( penjualan “cost-plus”) adalah
akad jual beli atas suatu barang, dengan harga yang disepakati antara penjual
dan pembeli, setelah sebelumnya penjual menyebutkan dengan sebenarnya harga
perolehan atas barang tersebut dan besarnya keuntungan yang di perolehnya. [2] Sedangkan
dalam dalam buku “Money Islamic Banks and the Real Economy” Bay’ al-Murabahah can be defined as a contract between a buyer and a
seller under which the seller sells specific goods allowed under sharia principles
and the law of the lnd to be buyer at a cost
plus agreed profits payable in cash on any fixed future date in a lump sum or
by installments.
From
the Islamic banking point of view, the customer will first identify the goods
to be financed. The bank will then secure the goods, add the mark up profit,
deliver the goods and collect the payment from the costumer-usually in deferred
terms. The mark-up profit is a percentage of cost or purchase price of the
goods or a lump sum payment.[3]
Yang jika
kita terjemahkan yaitu “Jual-beli
murabahah dapat didefinisikan sebagai suatu kontrak antara pembeli dan penjual
yang mana penjual menjual barang tertentu yang sesuai dengan prinsip syariah,
dan hukum terhadap pinjaman (pembayaran tunda) kepada pembeli atas biaya
tambahan yang disepakati yang dapat dibayar di waktu mendatang seluruhnya atau secara cicilan.
Berdasarkan
sudut pandang Bank islam, nasabah pertama-tama akan mengidentifikasi barang
yang akan dibayarkan. Kemudian Bank akan menjamin barang tersebut, menambahkan
keuntungan (mark-up) mengantarkan barang dan mengumpulkan pembayaran dari
nasabah sesuai ketentuan-ketentuan yang berlaku. Mark-up keuntungan adalah
persentase dari biaya atau harga beli barang atau jumlah pembayaran
Walaupun terdapat bamyak definisi
tentang pengertian murabahah, tetapi pada intinya secara subtansial memberikan
pengertian yang sama meskipun diungkapkan dalam redaksi yang berbeda. Hal yang
paling pokok, bahwa murabahah adalah jenis jual beli. Sebagaimana jual beli
pada umumnya yaitu tentang adanya barang yang di jual. Di samping itu akad
murabahah akad jual beli yang memiliki spesifikasi tertentu. Yaitu keharusan
adanya penyampaian harga semula secara jujur oleh penjual kepada calon pembeli
sekaligus keuntungan yangdi ingikan oleh penjual. Keuntungan yang di inginkan
oleh penjual tersebut harus atas kesepakatan kedua belah pihak. Hal spesifik
inilah yang membedakan murabahah dengan jual beli pada umumnya.
Murabahah dalam Literatur Klasik
Murabahah diturunkan dari kata Ribh, yang berarti
perolehan, keuntungan dan tambahan. Dalam murabhah, penjual harus mengungkapkan
biayanya dan kontrak (akad) terjadi dengan margin keuntungan yang di setujui.
Kontrak (akad) ini di praktikan pada zaman sebelum islam. Imam Malik menyebut
penjualan ini dalam Al-Muwattha kitab
pertama yang secara formal mencatat berbagai hadis Nabi Muhammad saw. Fuqaha
Hanafi yang terkenal, Al-Marginani, mendifinisikan murabahah sebagai “penjualan
barang apa pun pada harga pembelian yang ditambah dengan jumlah yang tetap
sebagai keuntungan”, Ibn Qudama, fuqaha Hanbali, mendefinisikannya sebagai
“penjualan pada biaya modal ditambah dengan keuntungan yang diketahui,
pengetahuan biaya modal adalah persyaratan atasnya”, oleh karena itu, penjual
akan mengatakan : “Biaya modal saya yang terkait dalam transaksi ini adalah
sekian atau pembelian barang ini menghabiskan uang saya sebesar 100 miliar dan saya menjualnya ke anda pada
biaya ini di tambah keuntungan sebesar 10 miliar”. Hal ini sah secara hukum tanpa
adanya kontrofersi sedikit pun di antara para fuqaha.
Menurut Imam Malik, Murabahah dilakukan
dan diselesaikan dengan pertukaran barang dengan harga, termasuk margin
keuntungan yang telah di setujui bersama pada saat itu dan pada tempat itu
pula. Penting pula untuk mengamati bahwa bagi Imam Malik, tidak ada kredit
dalam murabahah. Para penganut Malik secara keseluruhan tidak menyukai
penjualan ini karena ia menuntut banyak persyaratan yang pemenuhannya sangatlah
sulit. Akan tetapi, mereka juga tidak melarangnya.
Imam Syafi’i
dalam Kitabal-umm memperluas konsep
ini sehingga mencakup transaksi kredit. Ia didefinisikan dalam kata-kata yang
serupa dalam kitab-kitab fiqh lainnya. Berdasarkan definisinya, ia merupakan
dasar bahwa agar kontrak (akad) murabahah bersifat sah, pembeli harus
mengetahui harga orisinal, biaya tambahan jika ada, dan jumlah keuntungannya.
Oleh sebab itu, murabahah adalah kontrak (akad) yang berdasarkan kepercayaan. [4]
Berdasarkan
definisi-definisi diatas, hal penting yang perlu kita garis bawahi yaitu dalam
transaksi murabahah ialah pembeli harus mengetahui harga pembelian barang dan
adanya kesepakatan atas keuntungan yang diperoleh penjual.
Misalnya,
si fulan membeli unta 30 dinar, biaya-biaya yang dikeluarkan 5 dinar, maka
ketika ia menawarkan untanya, ia mengataka : “Saya jual unta ini 50 dnar, saya
mengambil keuntungan 15 dinar.”[5]
Persyaratan Spesifik Dalam Murabahah
Cukup
jelas bahwa transaksi yang berada dalam murabahah harus memenuhi semua
persyaratan umum yang juga diterapkan pada penjualan biasa. Persyaratan
spesifik berkenaan dengan transaksi murabahah yang sah berkenaan dengan barang
yang terkena peraturan murabahah, harga orisinal yang dibayarkan oleh penjual,
tambahan biaya apapun untuk menghitung total biaya yang akan menjadi dasar dari
murabahah, dan marjin keuntungan yang ditambahkan pada biaya yang telah ditetapkan.[6]
Sedangkan
syarat-syarat murabahah adalah sebagai berikut:
1. Harga awal yang harus dimengerti oleh
kedua belah pihak (penjual dan pembeli).
Dalam akad murabahah, penjual wajib
menyampaikan secara transparan harga beli pertama dari barang yang akan ia jual
kepada pembeli. Sedangkan pembeli mempunyai hak untuk mengetahui harga beli
barang. Persyaratan ini juga berlaku bagi jual beli yang sejenis,seperti al-isyrak,
al-tauliyah, al-wadli’ah.
2. Besarnya keuntungan harus diketahui dan
disepakati oleh kedua belah pihak, penjual wajib menyampaikan keuntungan yang
diinginkan dan pembeli mempunyai hak untuk mengetahui bahkan menyepakati
keuntungan yang akan diperoleh oleh penjual. Jika salah satu dari kedua belah
pihak tidak sepakat terhadap keuntungan penjual, maka akad murabahah tidak
terjadi.
3. Harga pokok dapat diketahui secara pasti
satuannya. Seperti satu dirham, satu dinar, seratus ribu rupiah, satu kilogram
gandum, satu kwintal beras dan lain-lain. Sebab dalam murabahah, dan dalam jual
beli amanah lainnya, yang dikehendaki adalah adanya transparasi antara harga pokok
dan kemungkinan harga yang akan diperoleh. Jika barang yang akan ditransaksikan
tidak diketahui satuannya, maka akan sulit menentukan keuntungan yang akan
diperoleh. Sehingga murabahahpun tidak terjadi.
4. Murabahah tidak bisa dicampur dengan
transaksi ribawi. Pada jual beli barter misalnya, sebuah barang yang dibeli
dengan timbagan atau takaran tertentu kemudian dibeli oleh orang lain dengan
jenis barang yang sama dengan pembelian pertama tetapi dengan takaran yang
lebih banyak, maka hal tersebut disebut dengan riba. Dalam transaksi murabahah
kelebihan bukan disebut dengan keuntungan, tetapi tetap dikatakan sebagai riba.
Lain halnya jika barang tersebut dibeli dengan mata uang kemudian dijual lagi
dengan tambahan keuntungan. Atau dibeli dengan barang dengan jenis tertentu,
kemudian dibeli lagi oleh orang lain dengan barang yang tidak sejenis. Maka ia
tida diebut dengan riba.
5. Akad pertama dalam murabahah harus
shahih. Jika pada pembelian pertama tidak dilakukan dengan cara yang shahih,
maka transaksi murabahah dianggap batal.
Senada dengan beberapa
persyaratan di atas, Syafi’I Antonio menetapkan persyaratan murabahah sebagai
berikut:
1. Penjual memberi tahu biaya modal kepada
nasabah.
2. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan
rukun yang ditetapkan.
3. Kontrak harus bebas dari riba.
4. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli
bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian.
5. Penjual harus menyampakan semua hal yang
berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.[7]
Struktur Murabahah
Pilihan-pilihan
untuk melakukan murabahah akan dibahas secara singkat sebagai berikut:
1. Perdagangan Langsung dengan pengelolaan
bank
Perdagangan langsung oleh
para pejabat bank adalah pilihan yang paling ideal mengingat pemenuhan sifat
dasar murabahah, tetap melibatkan bankir dalam bisnis perdagangan ritel dapat
menuntun ke permasalahan manajerial dan membuka peluang yang besar untuk
korupsi. Permasalahan ini dapat diselesaikan melalui pengenalan kontrol
internal yang efektif.
2. Bank membeli melalui pihak ketiga/agen
Satu pilihan diantaranya adalah bagi bank untuk membeli
barang melalui agen pihak ketiga untuk mempertahankan persediaan atau membeli
berdasarkan permintaan nasabah atas kegiatan murabahah. Struktur murabahah ini
lebih besar kemungkinannya untuk memenuhi tuntunan Syariah atas pengambilan
kepunyaan dan resiko komersial oleh bank untuk periode antara pembelian asset
dari pemasok dan penjualannya kepada nasabah murabahah.
3. Murabahah melalui nasabah sebagai wakil
Struktur perdagangan melalui nasabah sebagai wakil bank adalah
cara yang paling aman bagi bank untuk menghindari risiko-risiko yang
berbasiskan komoditas dan permasalahan-permasalahan terkait. Akan tetapi,
perjanjian yang demikian ini kemungkinan besar dapat menjadikan transaksi
murabahah sebagai pintu belakang bagi bunga dan karenanya diperlukan perhatian
lebih untuk menjaganya agar sesuai dengan syari’ah. Tuntutan yang paling utama
adalah barang berada dalam kepemilikan bank dan risikonya ditanggung pula oleh
bank. Selain itu, nasabah juga harus menjelaskan kepada pemasok perihal
statusnya sebagai wakil bank. Jika dalam “Murabahah” bank tidak membeli dan
memiliki barang serta hanya melakukan pembayaran untuk barang apa pun yang
dibeli dan diterima secara langsung oleh nasabah oleh pemasok/vendor, hal ini
merupakan pengiriman sejumlah uang atas nama nasabah, yang akan menjadi
pinjaman baginya dan keuntungan atas jumlah tersebut hanya akan menjadi bunga.
Karena bank islami pada umumnya menggunakan struktur ini.[8]
Permasalahan
dalam murabahah
Pada umumnya murabahah diadopsi
untuk memberikan kemudahan bagi nasabah untuk melakukan suatu transaksi jual
beli. Murabahah sebagaimana yang digunakan dalam perbankan syariah pada
prinsipnya didasarkan atas harga barang serta berapa tambahan keuntungan yang
diperoleh penjual (mark-up). Artinya pembeli
harus mengetahui tentang biaya-biaya terkait dan harga asli barang. Berbeda
dengan transaksi murabahah dalam literature klasik yang sifatnya masih
sederhana, dalam transaksi murabahah
yang dilakukan perbankan syariah terdapat banyak pertanyaan yang perlu kita
diskusikan seperti : Bagaimana hukumnya pembiayaan murabahah dengan tunda atau
cicilan ? Bolehkah Bank mengambil denda bagi nasabah yang terlambat membayar ? dan
pertanyaan-pertanyaan lainnya yang perlu didiskusikan .
1. Pembayaran dengan Tunda atau Cicilan
Para fuqaha tidak mempersoalkan keabsahan jual beli dengan
pembayaran tunda atau cicilan pada harga tunai. Perbedaan pendapat ulama
terjadi pada harga cicilan yang lebih tinggi dalam jual beli dengan pembayaran
tunda. Para tokoh fuqaha awal, seperti Malik dan Syafi’I, tidak menyetujui
harga jual yang lebih tinggi untuk jual beli dalam pembayaran tunda dan harga
yang lebih rendah untuk pembayaran tunai .[9]
Meskipun para ulama
generasi awal tidak menyetujui harga yang lebih tinggi pada jual beli dengan
pembayaran tunda, para pengikut mazhab Hanafi, Syafi’I dan beberapa penganut
mazhab lain berpandangan bahwa kenaikan pada harga jual beli dengan pembayaran
tunda adalah boleh. Alasannya ialah pertama karena tidak adanya dalil-dalil syariah yang melarangnya, kedua
ada perbedaan antara uang yang tersedia sekarang dengan uang yang tersedia di
masa depan . dan ketiga yaitu sebagai kenaikan harga tersebut sebagai biaya adiministrasi
yang dikeluarkan oleh pihak Bank.
Kemudian jika ditanyakan apakah ada batasan jumlah tambahan
harga dalam jual-beli secara tunda ?, maka jawabannya ialah jual beli secara tunai maupun cicilan telah
ditetapkan syariat dan tidak ada larangan. Hukum asal dalam penetapan harga
adalah tidak ada batasan , baik jual beli itu secara tunai maupun cicilan.[10]
Namun, pihak bank hendaklah dalam menetapkan tambahan harga (mark-up)
menyesuaikan dengan harga barang serta biaya-biaya yang dkeluarkan bank
ditambah dengan tingkat keuntungan yang diharapkan tanpa adanya unsur
kezhaliman terhadap nasabah.
2. Uang Muka
Sebagian ulama berpendapat bahwa janji yang dilakukan pembeli
kepada penjual bahwa ia akan membeli
suatu barang itu bersifat mengikat, karena itu tidak diperlukan lagi uang
muka dari pembeli sebagai tanda jadi.
Sebagian lagi beranggapan karena murabahah itu jual beli, maka
penjual (bank) dapat mensyaratkan sejumlah uang muka kepada pembeli (nasabah) apabila
ingin membeli barang. Jika transaksi ini jadi dilaksanakan, maka uang muka ini
menjadi sebagian dari harga yang dibayar. Tetapi, jika transaksinya batal, maka
uang akan dikembalikan kepada nasabah setelah diperhitungkan biaya administrasi
dan kerugian yang mungkin akan diderita bank akibat pembatalan itu.[11]
3. Denda ketika terdapat kelalaian nasabah
Perbedaan penting dalam hal nasabah yang lalai dalam melakukan
pembayaran pada perbankan konvensional biasanya
nasabah dikenakan sanksi bunga tambahan entah nasabah bisa membayar atau tidak.
Dalam perbankan Syariah nasabah harus diberi waktu toleransi untuk melunasi
jika ia tidak mampu, sebagaimana firman Allah Swt :
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ
تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang berutang itu) dalam
kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”(Qs.
Al-Baqarah : 280)
Penundaan semacam ini harus dilakukan, tanpa menambahkan beban
tambahan kepada nasabah. Namun, pada praktik transaksi murabahah yang terjadi diperbankan
syariah jika terdapat nasabah yang lalai dalam melakukan pembayaran maka akan
dikenakan denda. Hal ini disebabkan karena pihak bank beranggapan hal ini nanti
bisa menyebabkan celah bagi nasabah yang tidak ingin membayar walaupun nasabah bisa
melunasinya. Sanksi denda yang diberikan oleh Bank Syariah merefleksikan
kerugian yang diderita bank akibat tidak terbayarnya utang tepat waktu.
Dalam kontrak murabahah Faisal Islamic
Bank of Egypt (FIBE) dikatakan: “Karena bank ini tidak berurusan dengan
bunga, semua penundaan dalam pembayaran anggsuran
ketika harus dilunasi sesuai dengan kesepakatan tentu mengakibatkan kerugian
yang serius pada pihak bank, yang kemudian menuntut kompensasi. Adalah
berdasarkan aturan syariah bahwa tidak boleh ada kerugian terjadi pada pihak
mana pun (dalam kontrak), yang ini merupakan dasar transaksi- transaksi.[12] Oleh
karena itu, kedua pihak harus sepakat bahwa dalam hal penunggakan oleh pihak
kedua dalam pemabayaran semua angsuran saat harus dilunasi, maka Bank memiliki
hak, untuk meminta kompensasi atas segala kerugian yang diakibatkan oleh
penunggakan ini.
Bahkan, Dewan
Syariah Nasional mendukung adanya sangsi bagi nasabah yang mampu namun sengaja
memeprlambat pembayaran atau malah menunggak. Tapi Dewan Syariah Nasional tidak
setuju jika sangsi yang bersifat financial ini menjadi milik bank, melainkan
diberikan kesejahteraan social.
4. Khiyar dalam Penjualan Kembali
Bank wajib mememberikan barang kepada
nasabah dalam kondisi yang baik. Nasabah berhak menolak barang-barang yang
cacat, kurang jumlahnya atau tidak sesuai apa yang diharapkan.
Beberapa Bank menentukan dalam kontrak
(akad) bahwa kecacatan apa pun merupakan kewajiban pembeli jika ia memeriksanya
sendiri, atau jika barang-barang tersebut didiskripsikan kepada pembeli (sedemikian
rupa) guna menghilangkan ketidaktahuan (mengenai barangnya) yang dapat
menggiring keperselisihan.[13]
Dalam kasus ini pembeli
berhak untuk memperoleh pengurangan harga atas kekurangan barang
tersebut atau berhak untuk membatalkan akad.
Oleh sebab itu, dari sudut pandang
hukum, jika barangnya cacat atau tidak sesuai dengan spesifikasi yang
ditentukan, Khiyar al-Aib dan Khiyar Al-Wasf akan tersedia bagi nasabah, dan
jika ia menolak barang tersebut karena kualitas yang lebih rendah sebelum
pelaksanaan transaksi murabahah, barangnya dapat dikembalikan ke pemasok dan
barang berkualitas sesungguhnya dapat diperoleh melalui kontrak (akad) Murabahah
yang sama atau yang baru.
5. Mark-up versus Bunga
Berbeda
dengan kontrak pinjmanan bank konvensional, mark-up pada murabahah merupakan
kontrak penjualan. Pada kontrak pinjaman bank konvensional, ketika seseorang
ingin membeli sebuah mesin untuk suatu usaha, dia bisa meminjam uang kepada
pihak bank dengan tingkat bunga tertentu untuk membeli mesin tersebut atau meminta
bank untuk membeli mesin tersebut dan membayar kepada bank di waktu mendatang.
Permasalahan
mark-up pada murabahah terletak pada imbalan kepada bank. Jika
hal itu adalah upah pinjaman maka hal tersebut sama dengan bunga. Pada sisi
yang lain, jika hal tersebut adalah remunerasi[14]
untuk jasa pelayanan yang diberikan atau risiko yang ditanggung, hal tersebut
dapat diterima. [15]
Mengenai
hal ini Nidal Alsayyed menyatakan “ We find the arrangement per se does not
contain any element of interest. Islam does not grant a time value for money in
contracts if money were exchanged for money that is the basis of banning
interest”[16].
Yang artinya, “Kami menemukan bahwa peraturan murabaha semata tidak mengandung
unsur bunga. Islam tidak memberikan nilai waktu uang dalam kontrak jika uang
yang ditukar dengan uang yang merupakan dasar dari pelarangan bunga.
Murabahah
digunakan untuk membantu seseorang untuk melakukan pembelian. Di dalam prinsip
Murabahah, bank membeli barang atas nama klien dan kemudian menjualnya kembali
pada harga yang lebih tinggi untuk menutup biaya pembelian dan risiko
kepemilikan pada saat periode transisi.[17] Pembeli
dapat melakukan pembayaran dengan cicilan maupun dengan melunasi diakhir
periode. Mark-up ini diberikan sebagai pertimbangan keuntungan yang didapat. Maka
dari itu hal yang paling membedakan antara bunga pinjaman dengan mark-up adalah
pada bank konvensional penetapan tingkat bunga tidak didasarkan atas nilai dan biaya dari
pekerjaan yang dilakukan pihak bank. Sedangkan
pada murabahah, mark-up sangat ditentukan dari harga barang serta biaya-biaya
yang dikeluarkan bank dan ditambah nilai keuntungan yang diharapkan pihak bank.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan
diatas, maka dapat kita pahami bahwa murabahah adalah jual beli yang menyatakan
harga beli barang serta berapa keuntungan yang diperoleh. Jual beli murabahah
ini merupakan jual beli yang sudah umum digunakan pada masa klasik (abad pertengahan),
dan sekarang juga digunakan pada perbankan Islam. Transaksi murabahah pada
literature klasik dengan transaksi murabahah yang dilakukan perbankan memiliki
beberapa perbedaan, seperti pada proses transaksi, pada masa klasik penjual
membeli barang dari produsen, kemudian penjual menjual barang ke pembeli, sedangkan
pada perbankan islam, bank selaku penjual dapat mewakilkan kepada nasabah untuk
membeli barang dari produsen untuk dijual kembali kepada nasabah tersebut. Kemudian terkait status kepemilikan barang pada
masa klasik barang telah dimiliki penjual saat akad jual-beli dilakukan,
sedangkan pada praktik perbankan syariah barang belum jelas dimilki penjual
saat akad jual beli dilakukan.
Meskipun praktik jual-beli
murabahah klasik dengan praktik jual beli murabahah saat ini memiliki beberapa
perbedaan, pada hakikatnya perbankan islam sudah berusaha untuk menerapkan
prinsip syariah dalam perekonomian Indonesia. Seperti yang kita ketahui bahwa
hadirnya perbankan islam di Indonesia bertujuan untuk menghapuskan praktik riba
di masyarakat.
Daftar Pustaka
-Affandi ,M. Yazid, 2009, Fiqih
Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan
Syariah,Yogyakarta:Logung Pustaka.
- A Karim, Adimarwan,
2013, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada
- As Sa’di , Abdurrahaman, dkk, 2008, Fiqih al-bay’
wa asy-syira, Arab Saudi :
Maktabah Madinah
- Al sayyed ,Nidal, 2010, The Uses and Misuses of
Commodity Murabaha: Islamic Economic
Perspective, Malaysia : The Global University In Islamic Finance
(INCEIF)
- Ayub Muhammad, 2009, Understanding Islamic
Financial A-Z Keuangan syariah,Jakarta :
Kompas Gramedia.
- Hadad, Muliaman D., 2011, Belajar Mudah Ekonomi
Islam : Catatan Kritis Terhadap
Dinamika Perkembangan
Perbankan Syariah di Indonesia, Banten : Shuhuf Media
Insani.
- Ismail , Abdul Ghofar,2010, Money Islamic Banks
and the Real Economy, Singapore :
Cangeage Learing
-Rivai, Veithzal
dan Andria Permata Veithzal,2008, Islamic Financial Management, Jakarta
: Rajawali Pers.
- Rivai ,Vethzal dkk, 2010, Islamic Financial
Manajemen : Teori,konsep, dan Aplikasi,
Bogor : Ghalia Indonesia
-Warde Ibrahim, 2000, Islamic Finance Keuangan
Islam dalam Perekonomian Global ,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
[1] M. Yazid Afandi,2009,Fiqih
Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syariah,Yogyakarta:Logung
Pustaka.
[2] Veithzal
rivai dan Andria Permata Veithzal,2008, Islamic Financial Managemen,Jakarta:Rajawali Pers.
[3] Abdul
Ghofar Ismail,2010, Money Islamic Banks and the Real
Economy, Singapore : Cangeage
Learing
[4] Muhammad
Ayub,2009,
Understanding Islamic
Financial A-Z Keuangan syariah,Jakarta:Kompas Gramedia.
[5] Ir. Adimarwan A Karim, 2013, Bank
Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
[6] Ibid.hlm.339-340.
[7] M. Yazid Afandi,2009,Fiqih
Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syariah,Yogyakarta:Logung
Pustaka
[8] Muhammad
Ayub,2009,
Understanding Islamic
Financial A-Z Keuangan syariah, Jakarta:Kompas Gramedia.
[9] Veithzal
rivai dan Andria Permata Veithzal, op.cit., hlm 160.
[10] Syekh Abdurrahaman As Sa’di, dkk,
2008, Fiqih al-bay’ wa asy-syira, Arab Saudi : Maktabah Madinah
[11] Dr. Muliaman D. Hadad, 2011, Belajar
Mudah Ekonomi Islam : Catatan Kritis Terhadap Dinamika Perkembangan Perbankan
Syariah di Indonesia, Banten : Shuhuf Media Insani.
[12]
Veithzal rivai dan Andria Permata Veithzal, op.cit., hlm 159.
[13] Muhammad Ayub, op.cit, hlm 360-361
[14] Remunerasi = Imbalan
[15] Ibrahim Warde, 2000, Islamic
Finance Keuangan Islam dalam Perekonomian Global , Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
[16] Nidal
Alsayyed, 2010, The Uses
and Misuses of Commodity Murabaha: Islamic Economic Perspective, Malaysia :
The Global University In Islamic Finance (INCEIF)-
[17] Prof.Dr.H. Vethzal Rivai dkk, 2010, Islamic
Financial Manajemen : Teori,konsep, dan Aplikasi, Bogor : Ghalia Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar