Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf
A. Biografi Ringkas
Nama lengkap beliau adalah Ya’qub ibn Ibrahim ibn Sa’ad ibn Husain
Al-Anshori. Ia lahir di Kufaah pada tahun 113 H (731 M) dan meninggal dunia di
Baghdad pada tahun 182 H (798 M).[1] Beliau
merupakan tokoh pemikir islam yang hidup di akhir-akhir masa dinasti Bani
Umayah hingga masa Bani Abasyiah. Adapun karya-karya beliau yang merespon
beberapa gejala dan problematika masyarakat yang berkenaan dengan tatanan
kehidupan sosial dan agama adalah kitab al-Athar, kitab Ikhtilāf Abī Hanīfah wa
Ibni Abī Laila, kitab al-Radd ‘ala Siyar al-Auza’i, kitab Adabu al-Qadly, kitab
al-Maharij fi al-Haili dan kitab al-Kharāj.[2]
Beliau dilahirkan dari
keluarga miskin disebuah desa kecil di Baghdad, Irak. Sewaktu kecil beliau
sudah harus ikut bekerja bersama orang tuanya. Ayahnya menyuruh untuk bekerja
sebagai pembersih pakaian yang sudah lusuh agar terlihat rapi kembali, tetapi
kecintaannya pada ilmu membuat beliau sering absen untuk tidak bekerja.
Beberapa kali ayah Abu Yusuf harus menyeret beliau untuk keluar mesjid agar
tetap bekerja, karena keluarga mereka yang memiliki banyak anak dan saudara
membutuhkan sesuatu untuk makan. Entahlah, Abu Yusuf tetap pada pendiriannya,
setiap kali ayahnya pulang setelah menyeret beliau keluar mesjid dan menyuruh
bekerja membersihkan pakaian, dia kembali lagi ke mesjid mengikuti pelajaran
yang disampaikan oleh Abu Hanifah. [3]
Setelah menikah, Abu Yusuf semakin rajin mendatangi halaqah
keilmuan yang diisi oleh Abu Hanifah, seorang ulama pendiri mazhab Hanafi,
mazhab fiqih tertua dalam Islam sebelum mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, mazhab
Hanbali maupun mazhab lain.
Hingga pernah suatu kejadian, ketika Abu Yusuf pulang pada malah
hari dan seharian belum makan, dia meminta kepada istrinya untuk dibuatkan
makan malam dan istrinya dengan rasa hormat ke dapur dan membawa nampan yang
ditutupi oleh kain. Ketika Abu Yusuf dengan perasaan bahagia membuka kain yang
ada di atas nampan piring itu, dia begitu kaget : “ Hah.... Buku.!?”. “Ya.... suamiku,
itulah yang kau hasilkan dari kerjamu di siang hari, maka makanlah buku itu
pada malam hari,” jawab istrinya. Abu Yusuf bersabar atas perlakuan istrinya,
beliau tahu diri dan tidur dalam kelaparan.
Saat Abu Hanifah mersakan bahwa beliau tidak lama lagi hidup di
dunia, beliau berpesan kepada murid tercintanya Abu Yusuf : “ Aku menyimpanmu
kelak untuk umat Islam”. Sesaat setelah Abu Hanifah meninggal, Abu Yusuf
bersama keluarganya hijrah ke Baghdad, yang saat itu menjadi pusat kekuasaan
Islam yang dipimpin oleh Harun Al-Rasyid dari Bani Abassyiah. Dengan ilmunya
yang sempurna, yang beliau peroleh sejak kecil dari gurunya bernama Abu
Hanifah, dalam waktu yang tidak cukup lama. Abu Yusuf mendapatkan posisi
strategis di pemerintahan Baghdad.[4]
B.
Pemikiran
Ekonomi
Abu Yusuf menjabat sebagai Qodli Qudhat yaitu hakimnya para hakim pada
dinasti Abasyiah. Atas permintaan dari khalifah Harun Al-Rasyid beliau menulis
kitab yang berjudul Al-Kharaj atau biasa dikenal dengan istilah Kitab
Al-Risalat fi Al-Kharaj ila Al-Rasyid yang artinya Kitab tentang perpajakan
yang ditulis untuk Harun Al-Rasyid. Kitab tersebut berisikan tentang pemikiran-pemikiran
beliau dalam bidang ekonomi.
Adapun pemikiran-pemikiran ekonomi beliau yang dibahas dalam kitab
Al-Kharaj secara ringkas adalah, sebagai berikut :
1.
Kebijakan
Fiskal
Abu Yusuf adalah seorang ulama fiqih pertama yang mencurahkan perhatiannya pada
permasalahan ekonomi. Tema yang kerap
menjadi sorotan dalam kitabnya terletak pada tanggungjawab ekonomi penguasa
terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat, pentingnya keadilan, pemerataan dalam
pajak serta kewajiban penguasa untuk menghargai uang public sebagai amanah yang
harus digunakan sebaik-baiknya.[5]
Abu Yusuf menganalisis permasalahan-permasalahan
fiscal dan menganjurkan beberapa kebijakan bagi pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Konstribusi
yang lain adalah dengan menunjukan keunggulan sistem pajak proporsional
(muqasamah) menggantikan sistem pajak tetap (misahah atau waziah) pada tanah. [6] Menurut
beliau hal ini lebih adil dan menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi. Dalam
menggunakan dana public, beliau mengungkapkan
pentingnya pembangunan infrastruktur untuk mendukung produktifitas dalam
meningkatkan pendapatan negara.
2.
Pendapatan
Negara
Pendapatan
Negara telah dijelaskan dalam kitab Al-Kharaj karya Abu Yusuf secara rinci
walaupun tidak secara sistematis. Pemabahasan tentang pendapatan negara
berdasarkan kitab Al-Kharaj adalah sebagai berikut :
a.
Kharaj
(pajak atas tanah)
Kharaj
merupakan pajak yang diberikan atas tanah rampasan dari orang kafir baik melalui peperangan maupun perdamaian.
Kebijakan
mengenai kharaj yang disarankan Abu Yusuf mengikuti kebjakan pada masa
pemerintahan Khalifah Umar bin Khatab. Ketika kaum muslimin berhasil merebut
tanah dari kaum kafir, tanah tersebut tidak dibagikan kepada kaum muslimin
namun tetap dibiarkan untuk dimanfaatkan oleh pemiliknya dengan membayar kharaj
kepada pemerintah.
b.
Usyur
(bea cukai)
Pajak Usyur
tidak hanya dikenakan atas barang yang dibawa masuk ke negara Islam untuk
dijual saja. Barang-barang yang dibeli dari negara Islam untuk diperdagangkan
juga dikenai pajak, sebagaimana waktu pemungutan usyur juga hanya satu tahun
sekali.[7]
Pemungutan
usyur memiliki batasan yaitu pertama, barang yang dikenakan usyur bernilai 200
dirham atau diatasnya jika dibawah itu tidak dikenakan usyur, kedua usyur tidak
dikenakan bagi barang pribadi yang tidak diperdagangkan, ketiga besarnya adalah
2,5 % untuk muslim, 5% untuk ahlu dzimah, dan 10 % untuk ahlu harbi keempat jika
kaum muslimin melintasi pos usyur dengan membawa barang dagangan namun
bersumpah telah membayar zakatnya, maka 2,5% usyur tidak lagi dikenalkan, dan
yang kelima barang yang diharamkan Islam tetap dikenakan usyur jika mencapai
nilai minimal 200 dirham.
c.
Ghonimah
Ghanimah adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslimin dari
harta orang kafir melalui peperangan.[8] Sehingga
ghanimah bisa juga disebut sebagai harta
rampasan perang. Terlepas dari hal itu, Abu Yusuf memiliki pandangan yang
berbeda mengenai ghanimah, menurut beliau ghanimah bukan hanya harta rampasan
yang diperoleh dari peperangan, namun harta-harta yang terkandung dalam perut
bumi juga termasuk dalam kategori ghanimah. Menurut Abu Yusuf hasil dari ghanimah ini
harus dibagikan secara adil sebagaimana firman Allah Swt :
وَاعْلَمُوا
أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ
آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ
يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Ketahuilah,
sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan
perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnusabil, jika kamu beriman kepada
Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari
Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.(Qs. Al-Anfal : 41)
Jadi, 1/5 dari ghanimah akan dijadikan sebagai pendapatan public yang
akan digunakan untuk anak yatim, ibnu sabil dan orang-orang miskin, sedangkan
sisanya untuk prajurit yang berperang.
d. Jizyah
Jizyah adalah hak yang diberikan Allah swt kepada kaum muslimin dari
orang-orang kafir, karena adanya ketundukan mereka kepada pemerintahan Islam.[9]
Atau secara sederhananya jizyah adalah pajak yang diberikan kepada non-muslim
yang bertempat tinggal di Negara Islam.
Abu
Yusuf berpendapat bahwa jizyah diwajibkan bagi semua kafir dzimmi, baik yang
diwilayah Samad (Irak), dan seluruh wilayah yang dihuni kaum Nasrani, Yahudi,
dan Majusi (zoroaster), Shabi’in dan Samirah, kecuali kaum Nasrani dari Bani
Taglib, bagi mereka ada perlakuan khusus. Hal menarik untuk diperhatikan adalah
perlakuan khusus terhadap kaum Nasrani dari Bani Taglib adalah mereka tidak
dikenakan jizyah, justru dikenakan zakat seperti kaum muslimin, hanya saja
mereka harus membayar dua kali lipat zakat.[10]
Jizyah ini hanya dikenakan kepada orang yang mampu saja, jizyah tidak dikenakan
kepada kaum miskin serta golongan mustahik zakat.
e.
Zakat
Zakat merupakan
kewajiban bagi orang-orang Islam. Zakat merupakan salah satu instrumen pendapatan
negara yang dananya diberikan untuk para msutahik. Abu Yusuf tidak membahas
secara detail tentang zakat, beliau hanya menjelaskan zakat secara umum serta
keadilan dalam pendistribusiannya.
3.
Pengeluaran
Negara
Abu
Yusuf tidak membahas secara sistematis tentang pengeluaran Negara dalam kitab
Al-Kharaj, namun di dalam kitab tersebut setidaknya terdapat lima point
pengeluaran negara yaitu pertama gaji pegawai negeri, kedua pertahanan militer,
ketiga pembangunan infrastuktur, keempat memenuhi kebutuhan dasar masyarakat
dan yang kelima fasilitas untuk narapidana.
Reference
Nur
Chamid M.M,2010, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
Nurul
Huda dan Ahmad Muti,2011, Keuangan Publik Islam, Bogor : Ghalia
Indonesia
Rahmani
Timorita Yulianti, Pemikiran Ekonomi
Islam Abu Yusuf, Universitas Islam
Indonesia (Paper)
Taqyuddin An-Nabhani, 2009, Membangun
Sistem Ekonomi Alternatif : Perspektif Islam,
Surabaya : Risalah Gusti
[1] Nurul
Huda dan Ahmad Muti,2011, Keuangan Publik Islam, Bogor : Ghalia Indonesia
[2] Rahmani
Timorita Yulianti, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf, Universitas Islam
Indonesia (Paper)
[3] Nurul
Huda dan Ahmad Muti ,op.cit, hal 53
[4] Nurul
Huda dan Ahmad Muti ,op.cit, hal 53
[5]Drs. Nur Chamid M.M,2010, Jejak
Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
[6]Ibid, hal 155.
[7]Nurul
Huda dan Ahmad Muti ,op.cit, hal . 91
[8] Drs. Nur Chamid M.M, op.cit, hal
157.
[9] Taqyuddin An-Nabhani, 2009, Membangun
Sistem Ekonomi Alternatif : Perspektif Islam, Surabaya : Risalah Gusti
[10] Nurul
Huda dan Ahmad Muti ,op.cit, hal 102
Tidak ada komentar:
Posting Komentar